Usia
kanak-kanak adalah masa keemasan dalam kehidupan seseorang. Segala yang
dipelajari dan dialami pada masa ini –dengan izin Allah l– akan membekas kelak
di masa dewasa.
Tak heran bila di kalangan pendahulu
kita yang shalih banyak kita dapati tokoh-tokoh besar yang kokoh ilmunya,
bahkan dalam usia mereka yang masih relatif muda. Dari kalangan sahabat, ada
‘Abdullah bin ‘Umar, ‘Abdullah bin ‘Abbas, ‘Abdullah bin Mas’ud, Mu’adz bin
Jabal, Anas bin Malik g, dan banyak lagi. Kalangan setelah mereka, ada Sufyan
Ats-Tsauri, Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan Al-Imam An-Nawawi
rahimahumullah.
Begitulah memang. Dari sejarah
kehidupan mereka kita bisa melihat, mereka telah sibuk dengan ilmu dan adab
semenjak usia kanak-kanak. Jadilah –dengan pertolongan Allah l– apa yang mereka
pelajari tertanam dalam diri dan memberikan pengaruh terhadap pribadi.
Demikian yang diungkapkan oleh
‘Alqamah t:
مَا
حَفِظْتُ وَأَنَا شَابٌّ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ فِي قِرْطَاسٍ أَوْ
وَرَقَةٍ
“Segala sesuatu yang kuhafal ketika
aku masih belia, maka sekarang seakan-akan aku melihatnya di atas kertas atau
lembaran catatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/304)
Bahkan ayah ibu mereka berperan
dalam mengarahkan dan membiasakan anak-anak untuk menyibukkan diri dengan ilmu
agama sejak dini dan menghasung mereka untuk mempelajari adab.
Muhammad bin Sirin t mengatakan:
كَانُوا
يَقُوْلُوْنَ: أَكْرِمْ وَلَدَكَ وَأَحْسِنْ أَدَبَهُ
“(Para pendahulu kita) mengatakan:
‘Muliakanlah anakmu dan perbaikilah adabnya!’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa
Fadhlihi, 1/308)
Senada dengan ini, Ibnul Anbari t
mengatakan pula:
مَنْ
أَدَّبَ ابْنَهُ صَغِيْرًا قَرَّتْ عَيْنُهُ كَبِيْرًا
“Barangsiapa mengajari anaknya adab
semasa kecil, maka akan menyejukkan pandangannya ketika si anak telah dewasa.”
(Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, 1/306)
Dari kalangan sahabat Rasulullah n,
‘Umar ibnul Khaththab z contohnya. Beliau selalu menyertakan putranya,
‘Abdullah bin ‘Umar c di majelis Rasulullah n, sementara orang-orang yang duduk
di sana adalah orang-orang dewasa. Bahkan betapa inginnya ‘Umar agar putranya menjadi
seorang yang terkemuka di antara para sahabat yang hadir di situ dari sisi
ilmu. ‘Abdullah bin ‘Umar c menceritakan:
كُنَّا
عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ n فَقَالَ: أَخْبِرْنِي بِشَجَرَةٍ
تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لاَ يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلاَ وَلاَ
وَلاَ، تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِيْنٍ. قَالَ ابْنُ عُمَرَ: فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا
النَّخْلَةُ وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لاَ يَتَكَلَّمَانِ، فَكَرِهْتُ
أَنْ أَتَكَلَّمَ. فَلَمَّا لَمْ يَقُوْلُوْا شَيْئًا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ n: هِيَ النَّخْلَةُ.
فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ: يَا أَبَتَاه، وَاللهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي
نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ. فَقَالَ: مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ؟ قَالَ: لَمْ
أَرَكُمْ تَكَلَّمُوْنَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُوْلَ شَيْئًا. قَالَ
عُمَرَ: لَأَنْ تَكُوْنَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا.
“Dulu kami pernah duduk di sisi
Rasulullah n, lalu beliau bertanya pada kami, ‘Beritahukan kepadaku tentang
sebatang pohon yang menyerupai atau seperti seorang muslim, tidak pernah gugur
daunnya, tidak demikian dan demikian, selalu berbuah sepanjang waktu.’ Waktu
itu terbetik dalam benakku bahwa pohon itu adalah pohon kurma, tapi kulihat Abu
Bakr dan ‘Umar tidak menjawab apa pun sehingga aku pun merasa segan untuk
menjawabnya. Tatkala para sahabat tidak juga mengatakan apa pun, Rasulullah n
bersabda, “Itu pohon kurma.” Ketika kami bubar, kukatakan kepada (ayahku)
‘Umar, “Wahai Ayah, sebetulnya tadi terlintas di benakku bahwa itu pohon
kurma.”“Lalu apa yang membuatmu tidak menjawab?” tanya ayahku. “Aku melihat
anda semua tidak berbicara, hingga aku merasa segan pula untuk menjawab atau
mengatakan sesuatu,” jawab Ibnu ‘Umar. ‘Umar pun berkata, “Sungguh, kalau tadi
engkau menjawab, itu lebih kusukai daripada aku memiliki ini dan itu!” (HR.
Al-Bukhari no. 4698)
Lihat pula Ummu Sulaim x yang
menghasung putranya, Anas bin Malik z untuk selalu melayani Rasulullah n di
usia kanak-kanaknya. Ummu Sulaim x mengantarkan anaknya memperoleh faedah besar
berupa ilmu dan pendidikan dari beliau n. Anas bin Malik z menuturkan,
“Rasulullah n tiba di Madinah ketika aku berumur delapan tahun. Maka ibuku pun
menggandengku dan membawaku menghadap beliau. Ibuku mengatakan pada beliau,
“Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang tersisa dari kalangan orang-orang
Anshar, baik laki-laki maupun perempuan, kecuali telah memberikan sesuatu
padamu. Sementara aku tidak mampu memberikan apa-apa kepadamu, kecuali putraku
ini. Ambillah agar dia bisa membantu melayani keperluanmu.” Maka aku pun
melayani beliau selama sepuluh tahun. Tak pernah beliau memukulku, tak pernah
mencelaku maupun bermuka masam kepadaku.” (Siyar A’lamin Nubala’, 3/398)
Begitu pula ‘Abdullah bin ‘Abbas c,
sepupu Rasulullah n. Baru belasan tahun umurnya ketika Rasulullah n wafat,
sementara sebelum itu dia banyak mengambil faedah ilmu dari Rasulullah n serta
mendapatkan doa beliau. ‘Abdullah bin ‘Abbas c mengungkapkan, bagaimana
inginnya dia mendapatkan ilmu dari Rasulullah n:
رَقَدْتُ
فِي بَيْتِ مَيْمُوْنَةَ لَيْلَةَ كَانَ النَّبِيُّ n عِنْدَهَا
لِأَنْظُرَ كَيْفَ صَلاَةَ النَّبِيِّ
n بِاللَّيْلِ
“Aku pernah tidur di rumah Maimunah1
pada malam ketika Nabi n bermalam di sana untuk melihat bagaimana shalat Nabi n
di waktu malam.” (HR. Al-Bukhari no. 698 dan Muslim no. 763)
Setelah Rasulullah n wafat, semangat
Ibnu ‘Abbas c untuk mencari ilmu tidaklah surut. Didatanginya para sahabat
Rasulullah n yang ada pada saat itu untuk mendengarkan hadits dari mereka. Ibnu
‘Abbas c menceritakan tentang hal ini:
“Ketika Rasulullah n wafat dan waktu
itu aku masih belia, aku berkata kepada salah seorang pemuda dari kalangan
Anshar, ‘Wahai Fulan, mari kita bertanya pada para sahabat Rasulullah n dan
belajar dari mereka, mumpung mereka sekarang masih banyak!’ Dia menjawab,
‘Mengherankan sekali kau ini, wahai Ibnu ‘Abbas! Apa kau anggap orang-orang
butuh kepadamu sementara di dunia ini ada tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah n
sebagaimana yang kaulihat?’ Aku pun meninggalkannya. Aku pun mulai bertanya dan
menemui para sahabat Rasulullah n. Suatu ketika, aku mendatangi seorang sahabat
untuk bertanya tentang suatu hadits yang kudengar bahwa dia mendengarnya dari
Rasulullah n. Ternyata dia sedang tidur siang.
Aku pun rebahan berbantalkan selendangku di depan pintunya, dalam keadaan angin
menerbangkan debu ke wajahku. Begitu keadaanku sampai dia keluar. ‘Wahai putra
paman Rasulullah, kenapa engkau ini?’ tanyanya ketika dia keluar. ‘Aku ingin
mendapatkan hadits yang kudengar engkau menyampaikan hadits itu dari Rasulullah
n. Aku ingin mendengar hadits itu darimu,’ jawabku. ‘Mengapa tidak kau utus
saja seseorang kepadaku agar nantinya aku yang mendatangimu?’ katanya. ‘Aku
lebih berhak untuk datang kepadamu,’ jawabku. Setelah itu, ketika para sahabat
telah banyak yang meninggal, orang tadi (dari kalangan Anshar tersebut, red.)
melihatku dalam keadaan orang-orang membutuhkanku. Dia pun berkata padaku,
‘Engkau memang lebih berakal daripadaku’.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi,
1/310)
Dari kalangan setelah tabi’in, kita
kenal Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri t. Salah satu hal yang mendorong Sufyan
Ats-Tsauri sibuk menuntut ilmu sejak usia dini adalah hasungan, dorongan, dan arahan
ibunya agar Sufyan mengambil faedah dari para ulama, baik berupa ilmu maupun
faedah yang didapatkan dengan duduk bersama mereka, hingga ilmu yang
diperolehnya akan memiliki pengaruh terhadap akhlak, adab, dan muamalahnya
terhadap orang lain.
Ketika menyuruh putranya untuk hadir
di halaqah-halaqah ilmu maupun majelis-majelis para ulama, ibunda Sufyan
Ats-Tsauri berpesan, “Wahai anakku, ini ada uang sepuluh dirham. Ambillah dan
pelajarilah sepuluh hadits! Apabila kaudapati hadits itu dapat merubah cara
dudukmu, perilakumu, dan ucapanmu terhadap orang lain, ambillah. Aku akan
membantumu dengan alat tenunku ini! Tapi jika tidak, maka tinggalkan, karena
aku takut nanti hanya akan menjadi musibah bagimu di hari kiamat!” (Waratsatul
Anbiya’, hal.36-37)
Begitu pula ibu Al-Imam Malik t, dia
memerhatikan keadaan putranya saat hendak pergi belajar. Al-Imam Malik
mengisahkan:
“Aku berkata kepada ibuku, ‘Aku akan
pergi untuk belajar.’ ‘Kemarilah!’ kata ibuku, ‘Pakailah pakaian ilmu!’ Lalu
ibuku memakaikan aku mismarah (suatu jenis pakaian) dan meletakkan peci di
kepalaku, kemudian memakaikan sorban di atas peci itu. Setelah itu dia
berpesan, ‘Sekarang, pergilah untuk belajar!’ Dia juga pernah mengatakan,
‘Pergilah kepada Rabi’ah2! Pelajarilah adabnya sebelum engkau pelajari
ilmunya!’ (Waratsatul Anbiya’, hal. 39)
Biarpun dalam keadaan kekurangan,
mestinya keadaan itu tidak menyurutkan keinginan orangtua untuk memberikan yang
terbaik bagi sang anak. Lihat bagaimana ibu Al-Imam Asy-Syafi’i berusaha agar
putranya mendapatkan pendidikan dan pengajaran yang baik.
Diceritakan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i
t: “Aku adalah seorang yatim yang diasuh sendiri oleh ibuku. Suatu ketika,
ibuku menyerahkanku ke kuttab3, namun dia tidak memiliki sesuatu pun yang bisa
dia berikan kepada pengajarku. Waktu itu, pengajarku membolehkan aku menempati
tempatnya tatkala dia berdiri. Ketika aku telah mengkhatamkan Al-Qur’an, aku
mulai masuk masjid. Di sana aku duduk di hadapan para ulama. Bila aku mendengar
suatu permasalahan atau hadits yang disampaikan, maka aku pun menghafalnya. Aku
tak bisa menulisnya, karena ibuku tak memiliki harta yang bisa dia berikan
kepadaku untuk kubelikan kertas. Aku pun biasa mencari tulang-belulang,
tembikar, tulang punuk unta, atau pelepah pohon kurma, lalu kutulis hadits di
situ. Bila telah penuh, kusimpan dalam tempayan (guci) yang ada di rumah kami.
Karena banyaknya tempayan terkumpul, ibuku berkata, ‘Tempayan-tempayan ini
membuat sempit rumah kita.’ Maka kuambil tempayan-tempayan itu dan kuhafalkan
apa yang tertulis di dalamnya, lalu aku membuangnya. Sampai kemudian Allah
memberiku kemudahan untuk berangkat menuntut ilmu ke negeri Yaman.” (Waratsatul
Anbiya’, hal. 36)
Namun betapa mirisnya hati kita bila
melihat anak-anak kaum muslimin sekarang ini. Dalam usia yang sama dengan para
tokoh ini tadi, mereka tidak mempelajari ilmu agama ataupun memperbaiki
adabnya. Akankah kita biarkan ini terus berlangsung?
Wallahu ta’ala a’lamu bish-shawab.
1XBet
BalasHapusBetting in India. It can be great to find the most popular brands, especially ones gri-go.com that offer betting on sports such as football, tennis, Rating: 1/10 · 1xbet 먹튀 Review by Riku VihreasaariWhere https://tricktactoe.com/ can I find 1xbet?Where can 바카라 사이트 I find 1xbet https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ betting?